Rabu, 11 Maret 2009

Kampanye Caleg

Pemilu semakin dekat. Para caleg pun bergerak semakin cepat memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Masing-masing caleg punya cara jitu memikat masyarakat. Berdialog dengan konstituen, memberikan sumbangan-sumbangan, berkampanye via sms, membagi-bagikan buku yang tentu saja memuat keterangan mengenai caleg, mengedarkan VCD berisi profil, visi, misi serta program kerja caleg, mengiklankan dan memberitakan diri di media massa, membedah buku yang ditulisnya, dan sebagainya. Cara konvensional seperti mengadakan panggung hiburan sudah ditinggalkan.
Strategi kampanye yang paling banyak dan sepertinya paling mudah dilakukan adalah memasang gambar diri berikut nama dan nomor urut caleg, tak ketinggalan juga nomor dan lambang partai di tempat-tempat strategis. Baliho, poster, spanduk, billboard menjamur. Tidak hanya di kota Medan, pastinya setiap dari kita dengan mudah melihat alat peraga yang menampilkan wajah-wajah para caleg di seluruh penjuru Nusantara. Coba iseng-iseng Anda perhatikan, di sepanjang jalan ada tidak pohon atau tiang listrik yang ‘selamat’ alias tidak dipasangi wajah para caleg. Poster diri caleg harus diakui mengganggu pemandangan kota karena sangat banyak jumlahnya dan tidak rapi penempatannya atau 'manyomak' kata orang Medan.
Tidak hanya di pinggir jalan, di tengah jalan Anda dengan mudah menemukan alat peraga yang berseliweran. Maksud saya, coba Anda lihat penutup beca, atau kaca bagian belakang angkutan kota, maupun body-body mobil tim sukses para caleg. Kembali, Anda akan menemukan gambar diri dan nomor urut para caleg.
Mmm… menurut Anda apakah strategi kampanye dengan cara memasang wajah para caleg akan berhasil mengantarkan mereka menjadi wakil rakyat? Untuk sekedar memperkenalkan diri, mungkin cara ini berhasil. Tapi setiap hari masyarakat tidak hanya melihat 1 gambar caleg. Sejumlah caleg menyadari betul hal ini, maka mereka pun memasang gambar dirinya dengan pose-pose yang unik, menyertakan foto ketua umum partai sampai memajang orang-orang terkenal di dunia seperti Obama, David Beckam sampai orang yang beken di kampungnya (beneran lho ada caleg yang memasang foto kakeknya, yang saya sebagai orang yang satu kecamatan dengan caleg tersebut tidak tahu siapa dan bagaimana track record kakek si caleg sampai-sampai si caleg mengkampanyekan diri di bawah bendera si kakek).
Kecuali calon anggota DPD, pada surat suara tidak akan ada foto caleg. Yang ada hanya nomor dan nama partai, serta sederet nama caleg dari partai-partai yang mengikuti pemilu. Dengan sekian banyak caleg yang ikut serta dalam pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, apa yang dapat membedakan satu caleg dengan caleg lainnya kalau para caleg tidak memberikan informasi lebih kepada masyarakat sebagai acuan mengapa masyarakat harus memilih caleg tersebut. Kalau hanya melihat gambar wajah, nomor urut, nama caleg berikut partainya, sepertinya agak sulit bagi para pemilih untuk mengenal caleg lebih jauh dan menjatuhkan pilihan pada caleg tertentu. Saya cukup menghargai para caleg yang kreatif mengkaitkan diri dengan tokoh tertentu atau dengan pose yang unik, paling tidak saya aware caleg tersebut masuk ‘bursa’ pencalonan. Tapi sangat naïf kalau kita menentukan pilihan hanya karena si caleg tampan atau cantik, atau caleg tersebut keturunan siapa, atau karena fotonya lucu, atau ekspresi caleg sangat meyakinkan.
Masyarakat kita sekarang lebih kritis, mungkin lebih baik para caleg mendatangi grass root dan berdialog dengan masyarakat mengenai visi misi-nya daripada sekedar menebar baliho yang tidak memuat keterangan detail mengenai caleg tersebut.
Saya sepertinya harus sedikit angkat topi pada calon anggota DPD. Mungkin mereka sadar bahwa mereka harus berusaha sendiri karena tidak ada mesin partai yang mendukung mereka seperti halnya para caleg DPR, DPRD. Sebagian calon anggota DPD dari Medan track recordnya cukup jelas. Sebut saja Pak Rudolf M. Pardede yang merupakan mantan gubernur Sumatera Utara, dr. Robert Valentino Tarigan yang punya lembaga bimbingan belajar, atau Pak Rahmat Shah yang mendirikan Rahmat’s Wild Life Gallery, atau Pak Bahdin N. Tanjung yang rektor UMSU. Kita ambil contoh dr. Valentino walaupun orang sudah mengenal beliau dan mengetahui sepak terjangnya di dunia pendidikan, beliau tetap saja bergerilya memperkenalkan dan mengkampanyekan diri pada pemilih-pemilih potensialnya, jauh-jauh hari sebelum pemilu tiba. Memang ada juga caleg DPRD seperti Pak Adi Munasip, MM yang tidak hanya mengandalkan PAN dalam menjaring suara pemilih, setahu saya beliau sering mengadakan dialog kepada calon pemilih melalui “OBAMA = Obrolan Bareng Andi MunAsip” , tapi langkah Pak Adi ini hanya diikuti oleh segelintir caleg lainnya.
Ya, apapun langkah para caleg. Berhasil tidaknya strategi kampanye mereka, semoga kita sebagai pemilih semakin cerdas menentukan pilihan, tidak hanya menggunakan “mini maini maini mo” alias menghitung kancing saat mencontreng nanti. Semoga sebelum memasuki bilik pemilihan kita sudah menjatuhkan pilihan, karena pasti butuh waktu lama kalau kita masih mikir mau mencontreng caleg yang mana saat pemilihan. Belum lagi kita harus membuka dan melipat empat surat suara yang kata iklan “di meja aja gak cukup”. Bisa-bisa calon pemilih yang antri ketiduran menunggu kita kelamaan berada di bilik suara hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar