Kamis, 12 Maret 2009

Zzzz...Zzzz....

Sudah hampir tiga minggu ini kebiasaan tidur Razan mulai berubah lagi. Kembali seperti waktu bayi. Semasa bayi, tidak seperti sepupu saya, Rafi atau (Oom Rafi, begitu Razan harus memanggilnya sesuai tutur), yang beda setahun sama Razan. Rafi sejak bayi tidur malamnya sangat anteng, bangun cuma untuk minum susu kemudian tidur lagi, bahkan menurut bundanya terkadang Rafi tidak minum susu sama sekali di malam hari. Tidur siang pun selalu dilakoninya. Razan bayi? Wah, jangan tanya. Terkadang tidur siang hanya sebentar. Malamnya? Ronda! Gimana tidak jaga malam lha wong tengah malam Razan segar-bugar, senyum-senyum dan tertawa-tawa, main-main, berguling-guling kesenangan (sampai saya menggelarinya dengan panggilan “Undung-undung” karena Razan selalu bergelundungan menjelajah seluruh permukaan tempat tidur). Memang sehabis Maghrib Razan akan tidur, tapi setelah pukul 12 malam teng dia akan terbangun terkadang sampai jam 4 pagi. Siapa lagi yang harus menemaninya bermain kalau bukan mamanya. Kasihan Papanya, besoknya kan harus kerja. Tapi lebih tepatnya lagi, kalau mau jujur, antara saya dan Hubby yang paling tahan tidak tidur malam yaa.. saya. Hubby tuh bisa tidur dan terlelap dengan mudahnya hampir di mana saja dengan posisi apapun. Sementara saya? Kalau gak dapat moment-nya walau sudah ngantuk setengah mati tetap saja tidak bisa tidur! Apalagi ada satu kejadian yang menguapkan separuh kepercayaan saya kepada Hubby dalam menjaga Razan di malam hari. No..no...no…. Gak lagi deh kejadian itu terulang.
Saat ini, Razan akan tidur jam 3 siang, gak bisa dibangunin Maghrib, kemudian bangun jam 11 malam. Razan tidak mau terjaga sendirian di malam hari. Maka dia akan berceloteh, bertanya, minta ini itu, even membuka kelopak mata kalau saya berpura-pura tidur. Seperti tadi malam setelah bermain pesawat dan nonton VCD tentang kereta api dan pesawat terbang, cengar-cengir sama mamanya (wadooh, susah marah deh kalau Razan sudah mengeluarkan senyuman maut ke mamanya), dan akhirnya menyerah dan tidur jam 3 pagi (untuk kemudian bangun lagi menjelang azan Subuh). Terkadang kalau capek, saya akan marah juga padanya jika terlalu banyak bertanya (pusing juga menghadapi anak batita, pertanyaannya seperti tembakan senjata, beruntun sementara badan rasanya entah kayak apa karena ngumpulin keletihan gak tidur beberapa malam, apalagi terkadang pertanyaan Razan seperti 'jebakan' hehehe... "Ma ini pesawat apa?" biasanya Razan langsung mengacungkan pesawat yang dipegangnya ke hadapan saya. "Airbus, tipe A380" saya menjawab sekenanya. "Bukan, ini pesawat bulan sabit. Lihat, ini ada bulan sabitnya kan". Gubrakk..!), tapi saya akhirnya sadar itu strateginya memastikan mamanya tetap sadar menemaninya bermain. Ya, sudahlah mau bagaimana lagi. Saya tetap harus setia menemaninya, masak kalau dia gak tidur harus dikasih obat tidur?
Bingung juga melihat Razan, aktivitasnya tetap saja seperti biasa, energik. Bahkan kalau pun dia tidak tidur siang. Setelah bangun jam 4 pagi, Razan bisa tidak tidur siang dan baru tertidur pada jam 6 petang. Bangunnya? Jangan harap Razan akan bangun jam 6 pagi, Razan akan tetap bangun dengan range waktu antara pukul 12 sampai pukul 4 pagi.
Bude saya yang tinggal di sebelah rumah saya berkata “Kasihan ya, masak anak kecil tidak tidur-tidur”. Sedikit banyaknya ada sedikit tendensi mempertanyakan kemampuan saya mengkondisikan anak untuk tidur. “Maunya pada jamnya tidur Razan dibawa ke kamar”, itu sudah sejak dulu dilakukan, tapi jadinya setelah puas melompat-lompat di atas tempat tidur Razan akan berujar “Ma, Asa mau main di luar, ayoo Ma keluar”. Apa untuk hal seperti ini saya harus membawa Razan ke dokter Anggraeni, dokter anak yang menangani Razan sejak bayi? Dulu, saya menganggap kebiasaan tidur Razan wajar bagi bayi-bayi (tidur dan bangun kapan mereka mau), jadi saya tidak mempertanyakan hal tersebut kepada dr. Anggraeni. Hmmm… perlu tidak ya? Yaa… mungkin saya bisa konsultasi gratisan dulu ke teman-teman yang jadi psikolog dan dokter. Mumpung ‘stok’ banyak hahaha… (piss prends). Tapi sebetulnya ada satu hal yang sedikit meng-enggankan saya untuk konsultasi yaitu di keluarga saya (bapak, ibu, saya, Gema, Nofat, Caca) semuanya tahan tidur malam hanya beberapa jam atau terkadang tidak tidur sama sekali dan keesokannya tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Sampai saat ini pun begitu. Nofat dan Caca bisa ‘balas dendam’ dan tidur dari habis Subuh sampai jam 11 pagi. Tapi kalau ibu dan Gema? Gema tidak bisa ‘balas dendam’ karena dia harus bekerja. Dan ibu hanya bisa mencuri sejam dua jam untuk tidur di antara kesibukannya di rumah, itu pun seperti saya, kalau “moment-nya dapat”. Kalau saya? Bagaimana mau tidur, Razan tidak mengizinkan.
Tapi pagi ini, saya harus berterima kasih kepada Hubby. Setelah tidur, Razan bangun, tidak tahu jam berapa. “Ma, mau susu” pintanya. “Minta tolong ambilin sama Papa”. Kepala saya berat sekali, beberapa hari ini saya agak demam, kepala saya sakit, ditambah lagi saya baru tidur. Sakit kepala kali ini agak bandel, biasanya sehabis minum obat sakit kepala saya hilang, ini sudah dua hari, yang terasa sakit kepala bagian atas alias ubun-ubun (sebaiknya tanya kemana ini ya? Dokter aja? Psikiater? Ketika tes kesehatan psikologis oleh psikiater ada pertanyaan ‘jika sakit kepala, bagian mana yang sakit’. Apa itu terkait dengan beban pikiran, atau hanya ‘sakit biasa’? Gak tahu, deh. Tapi kalau bagian kepala yang sakit tidak penting bagi psikiater untuk menerjemahkan keadaan psikologis saya, kan pertanyaan yang perlu diajukan hanya “apa yang membebani pikiran Anda belakangan ini?”. Tapi karena kedua item pertanyaan itu ada, berarti keduanya saling melengkapi, kan?). Hubby menuruti permintaan Razan. Dan setelah itu keluar kalimat pamungkas Razan “Pa, keluar Pa. Asa mau nonton kereta api ama pesawat terbang (lagi??? Razan maniak banget pesawat dan kereta api. Sebutkan nama-nama TGV, Maglev, Shinkansen, EuroStar, Concorde, Helios, Global Hawk, Beluga, maka Razan bisa mengklasifikasikan mana yang kereta api dan mana pula nama pesawat)”. Dan papanya kembali menuruti permintaan Razan. Mengikuti kemauan Razan hanya masalah waktu. Razan akan berusaha terus sampai apa yang menjadi keinginannya dituruti. Biasanya menjelang Subuh, saat saya baru tidur setelah menemaninya di tengah malam, Razan yang mengerti bahwa ‘penjaganya’ berganti shift akan membangunkan papanya. “Cium dulu ah Papa biar mau bangun mmmuach..” katanya sambil mencium pipi papanya. Sumpah, geli banget saya melihat tingkahnya. “Bobok, Dek”, papanya menyuruh (atau berharap Razan mau disuruh tidur sementara dia kekeuh mau keluar kamar?). “Bangun, Pa! Bangun…. Ambil…” Razan bergerak mengambil bantal dan guling papanya. “Campak..” Razan pun memastikan papanya tidak akan tidur lagi karena bantal dan gulingnya dilempar jauh dari papanya. Hadoo… gak tahu dia belajar dari mana melakukan hal itu. Si papa masih enggan bangun. Tak kehilangan akal, Razan menarik kaki papanya. “Ayoo…Pa….Banguuunn!! “ Hihihi… Rutinitas yang aneh. Tadi pagi, saya dapat pengecualian boleh tidak shalat Subuh. Meneruskan tidur sampai pagi. “Ma, bangun” itu suara Hubby. Beneran mata saya masih berat sekali. “Ma, buat teh manis” Hubby masuk kamar lagi. Pasti sudah jam 7, hampir 4 jam saya tidur. Iya, jawab saya dalam hati. Pasti badan saya yang gak enak beberapa hari ini yang menghalangi saya melakukan permintaan Hubby. “Ma, Papa pergi kerja ya”. Sedikit kaget saya bangun, kaget karena saya belum buatin teh untuk Hubby. Saya keluar kamar. Razan menyambut seperti berhari-hari tidak ketemu saya “Mamaaaa…..” persis seperti di sinetron Razan menghambur memeluk saya. “Razan ngapain?” tanya saya. “Makan lontong”. Ooo… rupanya Hubby sudah beli sarapan di tempat favorit Razan. Koran hari ini juga sudah tergeletak tak jauh dari kursi kebesaran Hubby. Saya berjalan ke kamar mandi. Melewati meja makan, saya melihat mug besar. Hangat. Hubby sudah membuat teh sendiri. Hehehe.. maaf, Sayang. Diriku jauh dari sosok Arini yang sempurna dalam Istana Kedua-nya Asma Nadia. Kadang masih amaze Tuhan menitipkan cinta di hatimu untukku. Apipu, Honey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar