Rabu, 11 Maret 2009

Perjalanan Bersama Keledai

Pernahkah Anda mendengar kisah tentang perjalanan seorang bapak, anak dan seekor keledai mereka? Sebenarnya, saya sendiri lupa kapan dan darimana saya peroleh cerita ini. Tapi pesan dari cerita ini sangat membantu saya menyikapi ucapan orang-orang terhadap kehidupan saya. Semoga Anda dapat memetik hikmah dari cerita ini untuk hidup Anda.
Pada suatu hari, seorang bapak beserta anaknya yang berusia remaja pergi ke suatu tempat dengan membawa keledai yang mereka miliki. Di awal perjalanan, mereka berjalan beriringan seraya menuntun keledai tersebut. Tak lama mereka bertemu dengan seseorang. “Kalian ini lucu sekali, kenapa kalian tidak menunggangi keledai itu saja. Capek-capek berjalan, ada kenderaan kok tidak dimanfaatkan”, usul orang tersebut. Sang Bapak berfikir, benar juga saran orang ini, baiklah mungkin aku akan menunggangi keledai ini dulu, setelah itu gantian anakku yang akan menaikinya, maka naiklah ia ke punggung keledainya. Perjalanan pun dilanjutkan.
Di tengah jalan mereka berjumpa dengan orang kedua yang berujar “Ah, mengapa Bapak tega sekali membiarkan putra Bapak berjalan di tengah terik matahari seperti ini, sementara Bapak menunggangi keledai itu. Kasihan putranya kan, Pak”. Mendengar ucapan orang itu, sang bapak merasa malu lalu bergegas turun. Dia kemudian menyuruh anaknya menunggangi keledai mereka. Mereka pun meneruskan perjalanan.
Selanjutnya, mereka bersua dengan orang ketiga. “Aduh, anak ini tidak sopan. Orang tuanya disuruh berjalan kaki sementara dia enak-enakan duduk di punggung keledai. Hormati orang tua, dong, Anak muda” katanya kepada si anak. Si anak berusaha menanggapi perkataan orang tersebut dan meminta bapaknya agar ikut duduk bersamanya. Tidak mau anaknya dikatakan orang sebagai anak yang tidak berbakti, sang bapak menuruti permintaan tersebut. Lalu mereka kembali menempuh sisa perjalanan yang ada.
Berikutnya, mereka bertemu dengan orang keempat yang gemas melihat mereka. Rupanya orang ini aktivis hak-hak hewan. “Ck..ck..ck..ck…Sungguh tidak berperikehewanan. Masak kalian berdua menunggangi keledai itu. Keledainya keberatan dong menahan beban tubuh kalian. Keledai yang malang”.
Twink..twink..., si bapak dan anaknya pun jadi pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana cara yang tepat mencapai tempat tujuan mereka agar tidak dikomentari orang lagi. Satu-satunya hal yang belum mereka lakukan adalah memanggul keledai mereka. Menurut Anda, apakah keduanya harus melakukan hal yang sudah pasti sangat melelahkan itu?
Kalaupun keduanya memutuskan untuk memanggul keledai mereka, so pasti ada saja orang yang akan berkomentar. Bukankah itu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari? Tanpa diminta ada saja orang yang mengomentari, menyiriki, menasehati, mencampuri urusan kita, baik diminta atau pun tidak. Mungkin kalau si bapak dan anaknya memanggul keledai mereka akan ada orang yang berucap “Hai, kalian berdua. Apa yang kalian lakukan? Seyogyanya, kalianlah yang menunggangi keledai itu, bukan keledai itu yang ‘menaiki’ kalian. Ada-ada saja”.
Pernahkah Anda capek hati dan capek kuping mendengar apa yang orang lain katakan mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan Anda? Hal itu memang tidak dapat dihindari. Kita kan tidak bisa mengontrol orang lain menyampaikan apa yang ada di benaknya atau meminta orang lain untuk lebih santun berbicara pada kita (takutnya dia tidak terima dan mengatakan “siapa elo”, nanti urusan malah lebih runyam). Yang kita miliki adalah diri kita sendiri, maka kitalah yang harus pandai-pandai bersikap menghadapi komentar orang lain.
Lalu pada kasus di atas manakah pilihan terbaik supaya tidak dikomentari orang? Jawabnya tidak ada karena akan ada saja orang yang akan selalu berkomentar. Selanjutnya, apa yang harus dilakukan bapak dan anak tersebut? Well, tentu saja apa yang terbaik menurut mereka. Karena mereka sendiri yang tahu ketahanan fisik si bapak, si anak, maupun si keledai dalam menempuh perjalanan tersebut, termasuk soal waktu dan jarak perjalanan yang ditempuh. Bagaimana jika ada orang yang berkomentar? Ya, biarkan saja. Kalau orang itu mau mendengar penjelasan si bapak, misalnya saat si bapak menunggangi keledai sementara anaknya berjalan kaki, beliau bisa menjawab “saya terlebih dahulu mengendarai keledai ini, bergantian dengan anak saya, karena saya takut keledai kami akan kelelahan menopang tubuh kami berdua mengingat perjalanan kami cukup jauh”.
Terkadang kita harus menjelaskan kepada orang lain mengenai apa yang dikomentarinya, karena orang kan tidak secara terus-menerus mengikuti perjalanan hidup kita, sebagaimana tidak ada satupun dari orang yang memberikan komentar pada cerita di atas yang terus-menerus mengikuti bapak dan anak tersebut di sepanjang perjalanan mereka. Bagaimana kalau orang lain tidak mau mendengar penjelasan kita? Ya, mau bagaimana, kembali lagi harus saya katakan “Biarkan saja”. Sebab, ada orang-orang tertentu yang memang tidak butuh penjelasan kita, dia cuma mau berkomentar, titik. Itu saya ketahui dari pengalaman pribadi, pernah ada saudara yang tidak terlalu dekat dengan saya mengajukan pertanyaan dan ungkapan beruntun yang sepertinya sudah dihapalkannya ibarat menghafal dialog sinetron. Sebab saat saya berusaha menjawab pertanyaannya satu persatu beliau sepertinya tidak perduli bahwa saya belum selesai berbicara dan memotong ucapan saya.
Di lain waktu, saya pernah dicecar pertanyaan oleh seorang ibu mengenai pekerjaan saya. Entah kenapa si Ibu sepertinya pengen banget menjatuhkan saya di depan teman-temannya. Saya coba sabar aja meladeni ibu tersebut, secara kalau saya bersikap sebaliknya dia pasti dengan mudah akan menunjuk hidung saya “kamu tidak sopan!”, dan tercorenglah nama orang tua saya karena dianggap tidak mampu menanamkan sopan santun pada anaknya. Anehnya, setelah kehabisan pertanyaan dan gantian saya bertanya “Anak ibu kerja di mana?”, ibu itu mendadak tidak bisa mendengar ucapan saya padahal jarak kami cuma setengah meter, dan tidak ada suara-suara yang bisa mengganggu sampainya pertanyaan saya ke telinga beliau. Tiga kali saya mengulangi pertanyaan yang sama, sampai-sampai teman si ibu yang duduk di sebelahnya berkata “Ditanya tuh Bu. Anak ibu kerja di mana”. Tidak hanya menderita gangguan pendengaran temporer, ibu itu yang tadinya lancar berbicara tiba-tiba tidak bisa menjawab pertanyaan saya dengan kalimat yang baik. Ngeles, berusaha mengalihkan pembicaraan. Tidak hanya itu, tanpa memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan saya, atau mengucapkan apapun, tiba-tiba ibu tersebut menggerakkan badannya 90 derajat sehingga wajahnya tidak menghadap saya lagi, dan tanpa mengucapkan apa-apa pada saya langsung beliau mengajak berbicara teman di sebelahnya. Tinggallah saya yang melongo kayak orang bloon. Saya masih berdiri beberapa waktu untuk sekedar memastikan ibu tersebut memang tidak berniat berbicara kepada saya lagi sebelum saya akhirnya berkata “Permisi, Bu. Saya mau kesana dulu”. Belakangan saya ketahui ternyata anak ibu itu belum bekerja, tidak lebih baik dari saya yang saat itu diterima bekerja pada salah satu perusahaan penerbangan tapi pesawatnya gak terbang-terbang. Itu satu bukti lagi bahwa terkadang orang sibuk mengomentari orang lain tapi keberatan kalau kehidupannya dikomentari orang.
Apa yang sebaiknya kita lakukan saat orang lain mengomentari pilihan atau kehidupan kita? Dengarkan saja, barangkali komentarnya bisa memperkaya sudut pandang kita. Jangan serta-merta menuruti komentar orang, capek bo’. Tapi, jangan pula langsung menganggap komentar orang tidak baik. Mungkin saat hati sudah tidak panas, kita bisa berfikir jernih dan mengambil pelajaran dari apa yang dikatakan orang lain walau cara penyampaiannya bikin jengkel. Siapa tahu?

1 komentar:

  1. 12 Makanan Penurun Kolestrol Tinggi http://student.blog.dinus.ac.id/c11eddomarselo28/2016/11/12/12-makanan-penurun-kolestrol-tinggi/

    BalasHapus