Sabtu, 14 Maret 2009

Sebentuk Agar-Agar


Agar-agar! Tidak terdengar pekik suara hati gadis itu. Tidak seorang pun juga yang mengetahui dirinya memandangi lekat sebentuk cetakan yang tidak terisi penuh dengan agar-agar transparan. Dia bingung bagaimana menghabiskan agar-agar itu seorang diri. Jika tidak dia yang memakannya, siapa lagi? Dibuang? Mubazir. Diberikan ke orang? Malu dia memberikan agar-agar keras, hambar dan kurang wangi itu kepada orang lain. Apalagi kalau harus menjelaskan darimana agar-agar itu berasal. Mengakuinya sebagai buatannya sendiri? Itu berarti berbohong. Agar-agar, hanya itu satu-satunya bawaan yang diberikan rombongan yang baru saja pulang dari rumahnya. Lupakan black forrest, brownies, tiramisu, atau berbagai kue berkelas lainnya yang biasanya dikirimkan orangtua pacar adiknya pada setiap menjelang lebaran. Atau sekedar kue-kue beserta roti dari bakery besar yang menjadi buah tangan setiap pacar adiknya itu datang. Agar-agar, hanya itu satu-satunya yang dia terima, bahkan menjelang saat istimewanya. Setidaknya, ada yang bersusah payah membuat agar-agar itu untukmu, satu suara di hatinya berbisik. Gadis itu membayangkan, tidak ada yang susah dari membuat agar-agar. Hanya perlu mengaduk dan memastikan mengikuti takaran yang ada, pasti agar-agar itu tidak akan keras dan tidak akan hambar. Kalaupun gadis itu yang harus membuat agar-agar, dia juga akan memastikan agar-agar itu indah dipandang dan enak dimakan. Mungkin menambahkan sirup, mungkin mengkombinasikan warna, mungkin mengkombinasikan bentuk, mungkin menambahnya dengan buah kaleng yang pasti manis dan memiliki beberapa warna dari beberapa jenis buah, atau kiwi, strawberry, maupun jeruk yang pasti indah berada di dalam agar-agar transparan, bukan dengan pepaya mengkal yang keras dan berbentuk kotak dan juga nyaris tawar. Agar-agar itu tiba-tiba membuatnya ingin menangis, cuma seperti ini mereka mau bersusah payah untukku. Susah payah terkait dengan cinta kan? Demi cinta kita mau sedikit repot kan? Demi cinta kita juga mau sedikit berkorban, kan? Bahkan mereka tidak mau mengeluarkan Rp 33.000 saja untuk membeli kue standar bika ambon. Aku tak mengharapkan mereka membawa sekeranjang buah beraneka jenis dan sekotak besar chocolate ganache, nanar si Gadis. Mungkin tidak ada waktu untuk membeli, hatinya kembali memberi pandangan. Kalau tak ada waktu kenapa masih sempat mengaduk-aduk agar-agar dan menunggunya dingin? Kenapa tidak ada waktu kalau membeli kue hanya membutuhkan beberapa menit berhenti di toko kue dalam perjalanan menuju rumahku, kejar si gadis menuntut jawaban suara hati. Mungkin tak ada uang, suara hati memberikan alternatif jawaban. Apa kau yakin? Si gadis tak percaya. Lelakiku memang tidak punya uang. Itu aku paham. Tetapi pegawai-pegawai BUMN ternama itu punya. Tiga puluh tiga ribu pasti sangat ringan di dompet mereka. Bagiku saja sejumlah itu ringan, sehingga aku mau mengeluarkan nominal itu untuk kunjungan biasa. Tapi tak satupun dari mereka mau mengeluarkan uang untuk calon dari anak dan keponakannya. Lelakiku tak sensitif masalah seperti ini, ia akan menganggapnya ringan. Tapi dalam rombongan itu, ada yang sangat sensitif dan mengerti sekali urusan seperti ini. Mengapa beliau tak bersuara. Ataukah suaranya diabaikan? Kenapa? Apa karena aku dan keluargaku tidak begitu penting? Sementara calon-calon lain dalam keluarga itu….Si gadis tidak menyelesaikan kalimatnya. Hadir pertanyaan lain dalam dirinya, apa yang ada dalam pikiran ibuku karena anak gadisnya hanya dibawakan agar-agar keras dan tawar pada acara yang besar seperti ini? Gadis itu tertegun…, matanya terarah menatap agar-agar dihadapannya tapi pikirannya melayang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar