Sabtu, 14 Maret 2009

Uang Receh


Anda tentu pernah berbelanja di pasar swalayan, dan kalau kembalian pembayaran Anda katakanlah sebesar Rp 10.150, apa yang akan Anda dapatkan dari kasir? Selembar uang sepuluh ribu rupiah dan sebuah permen. Atau selembar sepuluh ribu rupiah ditambahi ucapan “Maaf Ibu, kami tidak punya uang kecil”. Cobalah Anda untuk meminta hak Anda, kasir mungkin akan menjawab “Ibu punya uang Rp 350, uang ibu akan saya kembalikan sebesar Rp 10.500”. Jika jawaban kita “Gak punya, Mbak”, siap-siap saja menerima sejumlah kecil uang kembalian Anda melayang atau kembalian berwujud permen.
Sebagian orang tentu menganggap kembalian dalam bentuk uang receh adalah hal yang remeh. Buat apa dipikirin, dibalikin atau tidak dibalikin gue gak rugi-rugi amat. Tapi ternyata banyak orang yang merasa terganggu dengan praktek kembalian uang kecil dengan sebuah permen. Mereka berkata praktek semacam ini hanya menguntungkan penjual saja. Sekecil apapun nominal kembalian yang seharusnya mereka terima seharusnya kembalian tersebut tetap harus mereka terima dalam bentuk uang, bukan permen. Emang bisa kita membalikkan keadaan dengan cara membayar dengan menggunakan permen kepada kasir di swalayan? Pasti kasirnya tidak mau, kan? Hehehe….
Tapi masih mending kita diberi kembalian berupa permen, bagaimana kalau tidak ada kompensasi sama sekali? Coba kita bayangkan jika ada 500 pelanggan yang tidak menerima haknya dalam sehari sebesar Rp 100 saja per pelanggan. Dalam seminggu pasar swalayan tersebut akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 350.000 hanya dari uang receh konsumen yang tidak diberikannya. Dalam sebulan bisa mencapai Rp 1.400.000. Lumayan juga, ya? Wah, ini juga salah satu bukti sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Tidak diberikannya hak konsumen dalam bentuk yang seharusnya (baca: uang receh) dan kurangnya kesadaran konsumen akan hak-haknya cukup dianggap penting bagi seorang adik kost saya, sehingga ia memilih tema mengenai hal ini sebagai bahan skripsinya. Sayang sekali saya tidak mengetahui hasil penelitiannya.
Saya pribadi cukup menghargai pasar swalayan yang aware terhadap permasalahan ini dan berusaha memberikan hak konsumennya, sekecil apapun nominalnya. Di dekat rumah saya, ada satu pasar swalayan namanya Maju Bersama (MB). MB pernah beberapa kali meminta pelanggannya yang memiliki uang receh dalam jumlah tertentu untuk mau menukarkannya di MB dengan uang yang nominalnya yang lebih besar karena MB kekurangan uang receh. Atau patut pula dipertimbangkan cara yang ditempuh Mirota Gejayan Yogya. Ketika berbelanja di Mirota, saya mendapat kembalian berupa dua kupon dalam nominal Rp 50. Kupon tersebut tentu saja hanya berlaku jika dibelanjakan kembali di Mirota pada periode waktu tertentu. Hanya saja, saya berpikir cara ini tidak cukup efektif. Tidak semua konsumen dapat menggunakan kupon itu sesuai ketentuan yang berlaku. Nah, kalau Carrefour karena modalnya gede dan manajemennya memikirkan hak konsumen, kita sebagai konsumen yang diuntungkan. Dengan harga barang yang tidak bulat, maksudnya tidak sesuai dengan nominal mata uang yang beredar, Carrefour akan menggenapkan ke bawah. Jika total belanjaan kita misalnya Rp 450. 570 maka kita tidak perlu membayar yang Rp 70, bayar saja sebesar Rp 450.500. Satu hal yang jarang sekali kita temui pada swalayan lain. Pasti kita diminta membayar Rp 450.600 alias pembulatan ke atas. Banyak-banyak aja yach pasar swalayan yang meniru kebijakan Carrefour hihihi….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar