Jumat, 27 Februari 2009

Biarkan Aku Sendiri

“Malam ini cerah..,”.

Ya, secerah hatiku yang bahagia bisa memandangmu di bawah cahaya sang penerang malam. Tidak tahukah kamu rasa yang membuncah didadaku? Rasa itu ingin menyeruak dan berteriak pada dunia: inilah pria yang kucintai!

“Mmmm…. Telah lama ingin kuutarakan bahwa aku ingin menawarkan kembali hatiku padamu”.

“Tapi sebelah kakimu masih berada pada perahu yang lain”.

“Aku bersedia keluar dari perahu itu lalu berenang untuk menggapai perahu di mana dirimu berada”.

“Jangan kau lakukan itu, perahu yang kau tinggalkan bisa karam. Pun tak ada lagi tempat yang bisa kuberikan padamu”.

“Apa tidak tersisa cinta untukku?”.

“Yang jadi pertanyaan justru masihkah ada cinta bagi orang lain selain cintaku padamu?”.

“Lantas, kenapa kau tidak bersedia menerimaku”.

“Hatiku terluka dalam karena penghianatanmu, bernanah dan menggerogoti kewarasanku. Air mata menjadi sahabatku. Tubuhku pun melayu. Mimpi-mimpi tentangmu menjadi pelipur laraku. Cukup sudah, aku tak ingin lagi kecewa. Aku telah lama membunuh angan-anganku bersamamu, tepat saat kau berjalan bersama kekasihmu di hadapanku hanya berselang beberapa waktu semenjak kita berpisah”.

“Tapi itu bukan penghianatan. Kita sudah sepakat untuk tidak bersama lagi waktu itu”.

“Itu keputusanmu, bukan keinginanku. Kau minta kita menempuh jalan masing-masing. Keinginanmu menjadi kewajiban bagiku untuk mewujudkannya. Kau memang tidak menghianati hubungan kita, tapi kau menyelingkuhi cintaku padamu. Aku membenci perselingkuhan, sangat membencinya, sekecil apapun. Apakah kau tidak tahu perselingkuhan telah memenjarakan banyak perempuan dalam nestapa. Aku bersusah payah keluar dari penjara itu. Apa jaminan yang dapat kau berikan untuk meyakinkanku bahwa aku tidak akan menjadi penghuni penjara itu lagi”.

“Aku mencintaimu…”.

“Andai kau mengatakannya bertahun-tahun lalu. Saat aku masih menantimu membalikkan badan di ujung jalan itu. Saat mawar-mawar dari kebunku yang khusus kurangkai demi menyambutmu belum mengering dan mati. Saat aku masih mengharapkan senyummu di persuaan kita. Saat aku selalu mencari bayangmu sekedar untuk mengobati rinduku. Saat aku merangkai malam-malam yang kulalui dengan harapan semoga esoknya kau datang lagi padaku dan memintaku kembali padamu. Saat aku belum bersumpah bahwa aku tidak akan menyakiti orang yang mencintaiku setelahmu”.

“Apa kau membenciku?”.

“Aku pernah berharap bisa membencimu. Kupikir dengan membencimu lebih mudah bagiku untuk tidak memperdulikan keberadaanmu. Semakin kuingin membencimu, semakin air mataku tumpah menghapuskan keinginan itu. Seberapapun tipisnya pembatas benci dan rindu yang dikatakan orang, tak sanggup aku memutus pembatas itu dengan pedang kekecewaanku terhadapmu. Aku terlalu mencintaimu sampai tak sanggup membencimu”.

“Apa yang menjadi keinginanmu sekarang?”.

“Aku ingin berjalan dengan kepala tegak sebagai orang yang memegang sumpah”.

“Apa kau mencintainya?”.

“Dia mencintaiku. Sangat. Itu sudah cukup bagiku”.

“Bagaimana dengan perasaanmu padaku?”.

“Biarkan aku menikmatinya dalam kesunyian. Meresapinya dan merasakannya mengalir dalam setiap pembuluh darahku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar