Minggu, 08 Februari 2009

Wafatnya Ketua DPRD-SU dan Penyampaian Aspirasi yang Santun

Selasa siang, tanggal 3 Februari 2009, saya membaca advertorial di halaman terakhir Harian Waspada. Isinya ucapan selamat dari salah satu lembaga bimbingan belajar atas diwisudanya putra ke-2 Drs. H. A. Aziz Angkat, M.SP (Ketua DPRD Sumatera Utara) dari Fakultas Ekonomi USU.
Tidak ada yang terlalu istimewa dari iklan tersebut karena toh kita biasa melihat iklan seperti itu di surat kabar (yang terlintas di benak saya waktu itu hanyalah: Alhamdulillah, ada satu lagi anak manusia yang telah membahagiakan orangtuanya dengan keberhasilannya menyelesaikan pendidikan).
Yang mengagetkan adalah berita yang sorenya saya saksikan di MetroTV. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Pak Aziz meninggal dunia di Gleni Hospital. Penyebabnya serangan jantung saat terjadi demonstrasi mengenai pemekaran Propinsi Sumatera Utara di kantor DPRD.
Massa demonstran yang dikomandoi oleh panitia pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) bertindak anarkis dan merangsek masuk ke ruang rapat dewan. Mereka berniat memaksa ketua DPRD-SU menggelar sidang paripurna pembentukan Protap pada saat itu juga. Beberapa petugas keamanan dan anggota dewan berusaha menghindarkan Pak Azis dari kepungan massa. Para demonstran mulai tidak terkendali. Mereka semakin beringas dan merusak ruang rapat dewan, melempari petugas dengan benda-benda yang dapat mereka temukan. Kursi dan papan nama anggota dewan pun melayang, bahkan peti mati yang dibawa para pengunjuk rasa ikut dilempar kearah petugas.
Massa mengejar Pak Azis, melontarkan kata-kata yang tidak senonoh, bahkan berusaha memukul beliau (seorang saksi menyatakan, demonstran ada juga yang berusaha menendang). Penghargaan yang tulus patut kita berikan kepada H. Azwir Sofyan (penasehat Fraksi Partai Amanat Nasional DPRD-SU) dan Asnan Said (anggota Fraksi Partai Golkar) yang menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Pak Azis saat kondisinya semakin terdesak, serta beberapa petugas keamanan yang diakui Pak Azwir ikut melindungi almarhum dari kepungan massa.
Di WaspasaOnline terdapat gambar yang menunjukkan beliau ditonjok pada rahang sebelah kanan. Akibat situasi yang chaos tersebut, Pak Azis jatuh pingsan dan langsung dievakuasi petugas. Sayangnya proses evakuasi terlambat akibat ulah para demonstran yang menghalang-halangi mobil Dalmas (Pengendali Massa) yang membawa Pak Azis keluar dari sekretariat dewan. Mereka melintangkan angkutan kota di gerbang keluar kantor dewan. Tidak hanya itu, mobil Dalmas tersebut juga dilempari batu dan helm.
Ajal memang tidak ada yang mengetahui kapan datangnya. Seperti halnya yang terjadi pada Pak Azis. Kemarin (02/02/2009) dia masih berbahagia karena wisuda Agung, anaknya, hari ini (03/02/2009) ternyata beliau dipanggil oleh sang Khalik.
Sebagai orang awam, saya tidak terlalu mengenal sosok Pak Aziz Angkat yang merupakan fungsionaris partai Golkar ini. Sejauh yang saya baca, tidak banyak pemberitaan maupun pernyataan beliau yang dikutip koran-koran lokal seperti halnya politisi-politisi lainnya. Beliau baru saja menjadi ketua DPRD-SU menggantikan Abah Wahab (Abdul Wahab Dalimunthe) yang mundur karena mencalonkan diri menjadi gubernur Sumatera Utara pada Pilgubsu yang lalu. Sebagai warga Medan, saya mengucapkan turut berbela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga tabah dan sabar menghadapi cobaan ini.
Mengingat banyaknya wacana pemekaran daerah di Sumatera Utara selain Protap, seperti Propinsi Sumatera Timur, Propinsi Nias, Propinsi Pantai Barat, Propinsi Sumatera Tenggara, pemekaran Medan menjadi Medan Kota dan Medan Utara, saya berharap wafatnya Pak Azis sedikit banyaknya bisa menggugah hati orang-orang yang berkepentingan terhadap segala bentuk wacana pemekaran ini (baca: bagi-bagi kekuasaan) untuk tidak memaksakan kehendak. Dewasalah dalam berdemokrasi. Segala sesuatu ada peraturan dan prosedurnya sendiri, misalnya saja dalam hal pemekaran wilayah harus mengacu pada UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 78 tahun 2007.
Apabila terjadi perbedaan persepsi mengenai penafsiran dan pelaksanaan undang-undang, tentu hal tersebut dapat diselesaikan secara hukum atau politis. Jangan hanya menggerakkan massa, yang kadang-kadang malah tidak mengetahui secara detail apa yang mereka perjuangkan.
Jangan asal mengecam , karena kecaman boleh jadi disebabkan ketidaktahuan mengenai tata tertib yang berlaku. Jangan asal mengancam, sebab terkadang ancaman tidak sepenuhnya Anda inginkan terjadi. Ada hal yang memilukan yakni terdapat spanduk bertuliskan “Provinsi Tapanuli, Paripurna atau Mati” yang diusung para mahasiswa dari salah satu PTS di Sumut. Ironis sekali, karena yang terjadi kemudian adalah pilihan yang terakhir mereka tawarkan, meninggalnya wakil rakyat. Tentu sebenarnya mereka tidak menginginkan hal tersebut.
Pada kejadian unjuk rasa lain, saya merasa agak lucu saat menyaksikan ada sekelompok demonstran, tapi ketika diajak berdialog oleh pihak yang didemo, duduk dan bicara baik-baik tentang apa yang mau disampaikan, eh malah menolak dan memilih tetap berorasi di depan gedung. Nah lho, sebagian masyarakat kita berarti beranggapan “kalau mau apa-apa ayook demon, nanti pasti dikasih apa yang kita minta; andaikan belum dikabulkan apa yang diminta, ancam saja kalau kita nanti akan membawa massa lebih banyak”.
Lebih parahnya lagi sebagian masyarakat kita sepertinya punya stereotype tersendiri tentang demonstrasi. Ngomong dengan lantang, dan selagi bisa rusakin aja barang-barang di sekitar tempat demonstrasi untuk menunjukkan keseriusan tuntutan. Masalah hukum itu urusan nanti, apalagi beberapa tahun belakangan ini aparat kepolisian bersikap sedikit lunak kepada para demonstran karena sepertinya ‘takut’ mendapat pemberitaan dan pencitraan negatif dari media massa.
Saya sangat berharap media massa mampu mendidik masyarakat dengan menayangkan demonstrasi damai ala PKS (bukan promosi lho). Jadi masyarakat kita tidak melulu melihat demonstrasi anarkis yang bikin miris. Demonstrasi destruktif yang bikin kita makin primitif. Merusak fasilitas umum, merusak fasilitas kampus (kampus sendiri lagi!). Apalagi saya perhatikan, begitu disorot kamera, terkadang para demonstran ini agak lebay (berlebihan), sadar kamera kali ya, biar terlihat keren di tv.
Pada akhirnya, sebagai sesama penduduk Nusantara tercinta ini, saya hanya ingin mengingatkan, apabila kita punya usulan atau kehendak, sampaikanlah keinginan tersebut secara santun kepada pihak-pihak terkait. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya. Bertindak brutal belum tentu memuluskan terwujudnya harapan kita. Semua hal ‘kan ada aturan mainnya. Setuju tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar